Pandangan Terhadap Hukum Keadilan di Indonesia
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue)
pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem
pemikiran". Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi
tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil". Kebanyakan orang
percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak
gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan
keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan
pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita
ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas.
keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.
Bahwasanya
di Indonesia keadilan belum bisa ditegakkan sesuai tuntutan negara
hukum, sudah tercermin di dalam praktek kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Tentunya orang sudah bosan membaca, mendengar dan melihat
keadaan tersebut. Tapi apa boleh buat, kita harus berjuang terus demi
tegaknya keadilan di Indonesia, sebab tanpa perjuangan keadaan tersebut
tidak akan berobah dengan sendirinya. Tanpa adanya perjuangan, si
pelaku ketidak adilan akan terus leha-leha dan senyum simpul meneruskan
tindakannya.
Mari
kilas balik sebentar, sekedar supaya tidak lupa akan adanya
ketidak-adilan serius di Indonesia. Belum ada yang bisa menjelaskan
sampai sekarang dengan gamblang: mau diapakan kasus korban pembunuhan
massal 1965-66 dan korban kejahatan HAM lainnya yang berkaitan dengan
peristiwa G30S. Dan bagaimana dengan kasus Tanjung Priok, Trisakti,
Semanggi, Jl Diponegoro dll? Sebaliknya sudah gamblang dan terang
benderang kasus Akbar Tanjung tentang penggelapan 40 milyar rupiah uang
Bulog,, yang oleh setiap orang diyakini sebagai tindak kriminal yang
memalukan, telah diloloskan oleh Mahkamah Agung.
Saat
ini di Indonesia terdapat lebih dari cukup norma-norma hukum, tapi
ironisnya sulit sekali mencari keadilan. Sebab di mana saja masih
bertengger orang-orang yang jiwanya hitam kelam yang tidak bisa
ditembus sinar terang. Bahkan Kejagung dan Mahkamah Agung yang
seharusnya aktif menegakkan keadilan, ternyata seperti yang dikatakan
Hendardi (PBHI), hanya berfungsi sebagai mesin binatu: "Masuk barang
kotor, keluar 'bersih''. Kasus Akbar Tanjung tersebut di atas merupakan
contoh yang tepat dan aktual.
Tampak
masih berlanjutnya praktek di jaman Suharto dulu, di mana ketika
menteri-menterinya kedapatan melakukan korupsi, langsung kasusnya
diselesaikan sendiri olehnya (Suharto) dengan pernyataan: kesalahan
prosedur administrasi. Hanya bedanya dengan praktek di era
‘’reformasi’’sekarang ini ialah Suharto dulu tanpa menggunakan ''mesin
binatu'', tapi dengan ‘’mesin sulap’’: barang kotor ditutup dengan
selembar kain, dibuka jadi bersih. Suharto memang punya keahlian
menyulap seperti ilusionis David Coppervield. Indonesia yang kaya raya
oleh Suharto bisa disulap menjadi negara miskin dan banyak hutangnya,
apalagi masalah korupsi dari menteri-menterinya dan para kroninya.
Keadaan
langka keadilan di atas terus berjalan di Indonesia sampai dewasa ini,
seiring dengan reformasi di bidang hukum dan keadilan yang tidak
berjalan seperti yang diharapkan. Bersamaan
itu pula, mereka yang tergolong dalam kontra-reformasi, yang dahulu
pendukung atau kader Orde Baru terus mengadakan konsolidasi. Sungguh
kita akan terperangah sejenak ketika melihat tayangan programma
diskusi/dialog interaktif di Liputan6 SCTV mengenai keputusan MA yang
membebaskan Akbar Tanjung, di mana Ruhut Sitompul (advokat, Golkar) dan
ahli-ahli hukum semacamnya dengan emosional berteriak ''Setuju!!!'' Dan
mereka berdalih dengan macam-macam referensi dan teori, tapi kosong
melompong dari rasa keadilan.
Tapi
alhamdulillah, tampak ada celah-celah yang bisa ditembus dalam mencari
keadilan, yaitu pada Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus Pasal 60/g UU
Pemilu keadilan bisa ditegakkan. Sehingga pasal diskriminatif terhadap
para mantan anggota PKI dan ormasnya, dinyatakan bertentangan dengan
UUD 45 dan karenanya tidak punya kekuatan hukum. Ini artinya telah berjalan proses penemuan jalan-jalan perjuangan yang realistis: mana yang obyektif bisa ditempuh. Kalau
tembok beton tidak bisa diterobos, janganlah membenturkan kepala.
Hancur kepala sendiri, temboknya tidak apa-apa. Tapi memang kita harus
terus menerus berusaha menyusun kekuatan tidak hanya untuk menerobos,
tapi juga untuk merobohkan tembok beton tersebut. Untuk itu semua
kekuatan reformasi harus bersatu dan menghindarkan politik pecah belah
dari lawan.
Kenyataan
dewasa ini di Indonesia belum ada persatuan ke arah perjuangan
menegakkan keadilan. Kesadaran untuk perjuangan bersama sangat tipis,
semua mengarah kepada kepentingan golongan dalam menegakkan
keadilan/HAM. Contoh: di ST MPR 2003 mengenai kasus Pencabutan TAP-TAP
MPRS yang bertujuan untuk mengoreksi fakta sejarah sekitar perebutan
kekuasaan oleh jenderal Suharto terhadap Presiden Soekarno (1965-1966),
ternyata hanya PDIP saja yang berjuang. Padahal
semua orang meng-klaim Bung Karno milik seluruh bangsa Indonesia.
Mengenai Pasal 60/g RUU Pemilu ketika diperdebatkan di dalam DPR,juga
hanya PDIP saja yang berjuang menentangnya. Perlu dipertanyakan di mana
suara kekuatan kiri/kiri-baru disimpan dan disembunyikan.
Pencabutan
TAP-TAP tersebutlah yang terpenting, bukannya pernyataan rehabilitasi.
Tanpa pencabutan TAP-TAP tersebut berarti berlangsungnya pembenaran
secara yuridis tindakan kudeta jenderal Suharto. Sedang nama besar Bung
Karno yang telah diakui sebagai bapak nation Indonesia, tidak akan ada
yang bisa mereduksi apalagi menghapus, sehingga tidak memerlukan adanya
pernyataan rehabilitasi.
Di
samping itu perlu disadari, bahwa usaha mencari keadilan harus
dilancarkan ke segala arah dan penjuru, ke semua lembaga negara dan
masyarakat. Kalau usaha tersebut hanya diarahkan ke Lembaga Eksekutif
saja, niscaya akan menemukan hasil yang tidak memuaskan, apalagi
Kabinet sekarang ini seperti dikatakan Presiden Megawati sendiri adalah
sebagai “kranjang sampah” dalam “system pemerintahan abu-abu”.
Meskipun
demikian pemerintah juga menampakkan satu langkah positif. Pemerintah
dengan Surat Setwapres (Sekretaris Wakil Presiden) No. B.3/3 tanggal 15
Maret 2004 (tentang Pelaksanaan Keppres No.58/1996 dan Inpres
No.4/1999), yang ditujukan kepada sejumlah instansi pemerintah (Jaksa
Agung, Kapolri, Sekjen Kementerian Kabinet Gotong Royong, para pimpinan
lembaga pemerintahan non departemen, pimpinan lembaga tinggi Negara,
para gubernur dan bupati), meminta agar para pimpinan lembaga-lembaga
negara tersebut menertibkan atau menindak aparat bawahan mereka yang
masih memberlakukan SBKRI (Surat Bukti Keawarganegaraan Republik
Indonesia) bagi warga Negara keturunan Tionghoa, India dan
lain-lainnya. Diharapkan dengan surat tersebut perlakuan yang tidak
adil dan diskriminatif terhadap warganegara keturunan Tionghoa dll akan
berakhir.
Langkah
pemerintah tersebut di atas selanjutnya haruslah didorong menuju kepada
penghapusan Instruksi Mendagri No.32 Tahun 1981 yang mengakibatkan para
mantan tapol, meskipun sudah “bebas”, tapi dalam praktek masih memikul
penderitaan tindakan yang tidak adil, diskriminatif dan bertentanagan
dengan HAM. Maka mendorong pemerintah untuk bisa melangkah ke arah itu
adalah tugas kekuatan reformasi seluruhnya dan mantan tapol
bersangkutan pada khususnya. Pengalaman perjuangan di Mahkamah
Konstitusi bisa dipakai sebagai modus operandi untuk menuntut
pencabutan Instruksi Mendagri tersebut di atas, ialah langsung menuntut
kepada Menteri Dalam Negeri dan juga Menteri PAN (Pendayagunaan
Aparatur Negara) agar aparat bawahan mentaatinya.
Dengan
demikian pernyataan-pernyataan umum tentang ketidak-adaan kemauan
politik pemerintah, tidak akan membawa hasil riil tanpa adanya
perjuangan konkrit langsung kepada sasaran. Bahkan secara tidak sadar
pernyataan-pernyataan umum demikian akan membelokkan perjuangan ke arah
jalan sesat penuh kabut, yang tidak bisa melihat peta politik Indonesia
dewasa ini secara jelas. Bahkan hal itu bisa diasumsikan sebagai
ketunggangan secara langsung atau tidak langsung oleh golongan tertentu
yang berkepentingan dalam pemilu untuk mendiskreditkan Megawati/PDIP. Tentu saja kekuatan Orbalah yang gembira dan mengambil keuntungannya.
Di
samping itu tentu perlu diingat bahwa kiprah PDIP di lembaga-lembaga
tinggi negara tersebut di atas, tidak dapat dipisahkan dengan nama
Megawati yang Ketua Umum PDIP dan juga presiden RI, yang Kabinetnya
merupakan “kranjang sampah”. Sedang Presiden RI sendiri bukanlah
Presiden PDIP, yang dapat berbuat apa saja seperti yang dilakukan
fraksi PDIP di MPR dan DPR.
Dan
juga perlu adanya pelurusan pandangan yang salah, bahwa presiden dalam
system pemerintahan presidensial seakan-akan dapat memutuskan apa saja.
Hal itu memang terjadi hanya dalam pemerintahan Orde Baru/Suharto,
disebabkan seluruh Lembaga Tinggi Negara (MPR, DPR, DPA, MA, BPK),
Golkar dan ABRI praktis merupakan alat kekuasaan rejim Orde Baru.
Dengan demikian Suharto/Presiden dapat melakukan apa saja yang
dikehendaki dengan garansi dukungan lembaga-lembaga negara, Golkar dan
ABRI.
Tapi
keadaan tersebut mengalami perubahan di era reformasi ini, dimana
lembaga-lembaga tinggi negara dan parpol-parpol tidak lagi di bawah
komando dan pengawasan eksekutif /Presiden (Ingat pada jaman Orba semua
parpol di bawah pengawasan Pembina Politik). Sebaliknya bahkan lembaga
Eksekutif (Kepresidenan) saat ini (setelah Amandemen UUD 45)
kekuasaannya hampir menyerupai presiden dalam system parlementer
(legislative heavy), meskipun secara yuridis masih system presidensial.
Maka dari itu Presiden Megawati menyebut system pemerintahan dewasa ini
abu-abu. Hal itu akan diperjelas dengan adanya multy partai dalam
DPR/MPR dan tidak adanya partai yang menang mutlak dalam pemilu, yang
berakibat Lembaga Eksekutif/Kabinet Presiden terbentuk dari “koalisi”
bermacam-macam partai politik beserta aneka ragam corak kepentingannya.
Pendiskreditan
Megawati/PDIP yang seakan-akan tidak mempunyai kemauan politik untuk
membela HAM, membuktikan ketidak jelasan pandangan atas kondisi dan
peta politik Indonesia dewasa ini. Hal ini juga merupakan pencerminan
bahwa pihak pemecah-belah telah berhasil secara lihay melaksanakan
politiknya. Pendiskreditan tersebut tidak akan punya nilai resultatif
yang positif, kecuali hanya pelampiasan ketidak puasan yang mubazir dan
menguntungkan bagi kekuatan orba.
Khusus
mengenai kasus Korban pelanggaran HAM 1965-66, kita lihat bahwa dalam
KOMNASHAM akhirnya bisa dibentuk bagian yang menanganinya. Ini adalah
sebuah celah yang perlu dimanfaatkan seefektif mungkin, agar bisa
membantu penegakan keadilan yang dikehendaki dan bisa mendorong
pembentukan pengadilan atas kasus kejahatan HAM 1965-66 di Indonesia.
Sedang sosialisasi di level internasional (internasionalisasi) kasus
tersebut di Jenewa (Komisi HAM PBB) juga perlu dijalankan. Tapi
berpengharapan yang berlebihan untuk mendapatkan keadilan di sana
adalah suatu ilusi besar. Kita akan kecele nanti. Juga tentang usaha
pengajuan kasus kejahatan HAM 1965-66 di sejumlah Mahkamah
Internasional di Den Haag (Belanda), sebaiknya kita tidak usah ngotot
menghabiskan enerji. Kita akan lebih kecele lagi, sebab tidak ada pintu
terbuka untuk ke sana. Lebih baik kita memanfaatkan celah-celah yang
ada di tanah air dewasa ini dan berusaha mencari celah-celah baru di
semua lembaga negara, secara baik, cerdik, gigih dan kreatif. Ambillah
juga hikmah dari pengalaman perjuangan-perjuangan di Majelis Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar